Dulunya.. yang sering menjaga toko tersebut adalah seorang bapak tua renta namun cukup gesit.. Saya sering singgah di toko itu untuk membeli pulsa ataupun cemilan buat bekal nonton DVD, karena letaknya yang sangat dekat dengan rumahku.. Saat saya menunggu bapak tua itu mengirimkan pulsa lewat fasilitas yang akrab disebut elektrik, yaitu dari kartu chip khusus M-Kios yang dia miliki dan berisi sejumlah pulsa, saya kerap memerhatikan bapak tua itu..
Usianya sekitar 65 – 70 tahun, dengan postur tubuh yang kurus dan pendek, lebih pendek sedikit dariku.. Kulitnya berwarna coklat kehitaman dan keriput.. Dia sering mengenakan kacamata dan busana berupa kutang/singlet, ataupun baju kaos berwarna putih… Dia sering menyapaku, lalu diakhiri dengan sebutan “nak”, misalnya, “Mau beli apa, nak?” ataukah, “Darimana? Pulang kerja yah, nak?”.. Yap dia sangat ramah..
Saya sempat satu dua kali ngobrol mengenai aktivitasnya..
“Bapak tinggal sama siapa?” tanyaku di suatu sore saat dia lagi sibuk mengambilkanku dua bungkus mie instant rasa kari ayam..
Usianya sekitar 65 – 70 tahun, dengan postur tubuh yang kurus dan pendek, lebih pendek sedikit dariku.. Kulitnya berwarna coklat kehitaman dan keriput.. Dia sering mengenakan kacamata dan busana berupa kutang/singlet, ataupun baju kaos berwarna putih… Dia sering menyapaku, lalu diakhiri dengan sebutan “nak”, misalnya, “Mau beli apa, nak?” ataukah, “Darimana? Pulang kerja yah, nak?”.. Yap dia sangat ramah..
Saya sempat satu dua kali ngobrol mengenai aktivitasnya..
“Bapak tinggal sama siapa?” tanyaku di suatu sore saat dia lagi sibuk mengambilkanku dua bungkus mie instant rasa kari ayam..
“Saya tinggal sama keluarga, nak?” Jawabnya singkat sambil mengaduk-aduk dus yang berisi mie instant..
“Lahhh.. Koq seharian hanya bapak yang jaga toko, emang keluarganya pada sibuk yah?” tanyaku lagi..
“Hehe… Ini sudah kerjaan saya, nak.. Nih mie instant-nya, rasa kari ayam kan? Semuanya tiga ribu rupiah, nak” jawabnya sambil menyerahkan kantong plastik hitam berisi belanjaanku..
Saya menyodorkan uang sambil tersenyum dan berlalu…
Yappp.. Dia tidak pernah menjelaskan secara detail mengenai dia dan statusnya di rumah sekaligus toko itu… Pernah juga saya singgah membeli pulsa di suatu malam sepulang kerja..
“Ada voucher kartu AS-nya yang lima puluh ribu, pak?” tanyaku..
“Ada nak, mau yang elektrik atau fisik?”
”Hehehe.. Biassa.. Yang elektrik ajah, pak..“
”Pulang kerja, nak?“ tanyanya tiba-tiba memulai obrolan..
”Iya nih.. Agak capek, pak..“ jawabku yang memang saat itu dalam kondisi kurang fit dengan demam yang sering menghinggapiku di malam hari… Kata pacarku sih, itu bergantung pada suasana hatiku.. Hehehe.. Artinya lagi gak mood..
“Bagus yah kamu.. Masih muda, kerja dengan semangad pula.. Sudah punya pacar?“ tanyanya lagi
”(sambil tersenyum malu-malu) Iyah punya, pak.. Kenapa? Kelihatannya gak mungkin punya pacar yah, pak?“ candaku...
Dia lalu tersenyum dan memperlihatkan giginya yang rapi dan terlihat sehat meski warnanya kekuningan.... Saya berharap dia melanjutkan dengan satu atau dua kalimat, tapi ternyata dia diam sambil mengutak-atik handphone yang dia genggam untuk mengirimkan pulsa yang saya pesan...
”Koq diam, pak? Jawab dong, pak... Wahhh.. Saya jelek yah, pak?“ desakku mencoba santai dan tersenyum, padahal paniknya minta ampun, gawat kalo emang saya jelek.. Kalo anggapan orang tua kayak dia saja, saya jelek, gimana dengan yang lebih muda dari usianya tau bahkan yang seumuranku.. Hiksss
”Ehmmm... Udah masuk tuh pulsanya, coba dicek.. Harganya lima puluh lima ribu“ dia lalu menyimpan handphone-nya ke dalam laci..
Dengan wajah cemberut yang gak pernah bisa kusembunyikan, saya lalu mengecek handphone-ku, ”Udah masuk, pak.. Nih duitnya.. Pas yah, pak.. Makasih“, saya kemudian beranjak pergi dengan rasa penasaran..
Lalu.. Tiba-tiba saja dia teriak dan menjawab rasa penasaranku, ”Saya tadi berpikir... Dan sampai menit ini, gak ada alasan untuk mengatakan kamu jelek, dia laki-laki yang beruntung!“
Saya pun berbalik dan menyunggingkan senyum, lalu menuju ke mobilku yang terparkir di depan tokonya..
Hehehehe.. Bukan ngarang lho.. Meski dengan dialek Makassar yang cukup kental, saya mencoba men-translate-kan kepada kalian, dan begitulah sekenanya.. Hihihihi.. Jadi GR euy... Saya juga punya cerita lucu tentang dia... Suatu waktu, Dodi adikku, singgah membeli pulsa di toko itu.. Dan seperti biasa, bapak tua itu yang meladeninya..
”Pak.. Beli voucher SIMPATI-nya yang lima puluh ribu“ kata Dodi
”Boleh nak, mau yang elektrik atau yang fisik ?? ” tanya si bapak
”Yang elektrik deh, pak”
”Wah kalo yang elektrik udah habis, nak”
”Kalo begitu yang fisik ajah, pak“
”Wah sama juga, nak... Fisik juga habis..“
Wakakakakakakak... Aneh kan.. Kalo tau gitu, ngapain Dodi disuruh milih, elektrik atau fisik.. Padahal nyata-nyata udah habis semua.. Hihihihi....
Yahhh itulah sedikit cerita mengenai bapak tua itu.. Belakangan saya mulai merindukannya.. Dia sudah tidak pernah menjaga di toko itu.. Toko itu saat ini dijaga oleh tiga gadis manis berjilbab seumuranku. Rasa penasaranku akhirnya mendorongku bertanya kepada satu di antara tiga gadis berjilbab tersebut saat saya singgah membeli pulsa di toko itu,
”Maaf.. Mau nanya.. Bapak tua yang biasa menjaga toko ini, kemana yah? Koq udah gak pernah kelihatan??“
Ketiga gadis itu saling memandang, lalu salah seorang dari mereka yang menggunakan jilbab warna pink menjawab, ”Ohh.. Dia sudah pulang ke kampungnya...“
”Hummm.. Begitu.. Dia kapan kembali? Kalian keluarganya?“ tanyaku lagi
”Kami bukan keluarganya.. Kayaknya dia sudah tidak kembali lagi..“ jawab gadis yang sama..
Sebelum saya bertanya lagi, salah seorang dari mereka dengan jilbab berwarna coklat motif kotak-kotak kecil, berkata, ”Maaf.. Kami tidak tahu banyak tentang si bapak.. Pulsanya sudah terkirim.. Uangnya pas yah.. Makasih“, lalu mereka menyibukkan diri dengan mengatur barang-barang jualan..
Saya pun paham bahwa mungkin mereka tak ingin berbagi info, atau memang sama sekali tak tau mengenai si bapak..
Huffff... Nyesel juga, saya gak pernah ngobrol lama dengan si bapak, tapi itu juga karena dia cukup tertutup dan malas berbasa-basi denganku... Yahhhh sudahlah... Mungkinn saat ini dia sudah letih berjualan, kemudian kembali ke kampung halamannya dan berkumpul dengan orang-orang yang benar-benar adalah keluarganya.. Yang membuat dia merasa berarti, lebih dari seorang penjual pulsa dan beragam jualan lain, dari pagi sampai malam.. sehingga dia tidak punya alasan untuk tinggal di kota yang rame dengan hiruk pikuk ini, dan memilih menghabiskan masa tuanya di tempat yang nyaman...
Saya pun kembali merenung.. Apakah kota rumit itu jawaban yang tepat untuk mengadu nasib??? Apakah itu mampu memperjelas status seseorang di rumah ataupun di kantor? Ataukah.. Kota itu hanya menyihir kita menjadi robot pekerja keras tanpa henti dan tidak memiliki tujuan akhir...
....hanya bekerja dan menjadi budak untuk mereka yang haus akan materi dan jabatan...
27 Mei 2009
19:53 wita
27 Mei 2009
19:53 wita