antri itu indah

Hari ini adalah kali kedua saya ke tempat praktek dokter tersebut, dr. Sumantri Sarimin. Hummm... Namanya sudah cukup terkenal di kalangan para ibu metropolis dan gadis-gadis yang sangat memperhatikan kesehatan dan kemulusan kulit mereka. Beberapa anggota keluarga telah memperingatkan bahwa untuk bertemu dan berobat ke dokter yang masih sangat misterius wajahnya di benakku saat itu, kita harus rela antri berjam-jam. Well...itu justru semakin membuatku penasaran mengingat bintik-bintik putih yang mungkin kalian kaum cowok bilangnya, “biasaji Ve, begitu ji lagi”, dan beberapa jerawat yang datang silih berganti dan meninggalkan jejak yang membuatku kerepotan bagaimana menyamarkannya.

Setelah bertanya sana-sini mengenai keampuhan obat dokter tersebut, serta tarif yang bisa saja menghabiskan seperempat gaji atau bahkan lebih, so... I must be warn myself... Saya mendaftar juga sebagai pasien dengan nomor urut 17!!!! Astaga, bakalan selama apa nih nunggunya... Tapi meskipun angka itu tergolong jumlah besar dan pastinya akan nunggu lama, saya tetap memutuskan untuk datang ke tempat prakteknya. And that’s right! Pasiennya banyak, ditambah dokter ngaret mungkin sekitar 2 jam dari jam prakteknya, jam 14:00 wita. Akhirnya saya dan adek perempuanku, Debi dan Desi, hanya menonton lawakan satu keluarga keturunan tiong hoa, dan yang menjadi pemeran utamanya adalah putra mereka yang lima hari lalu disunnat, tapi sampai kemarin dia masih meringis kesakitan tiap malam, tidak tanggung-tanggung, sampai jam 4 subuh... Humm.. Mungkin dia tidak sabaran, setelah disunnat langsung melakukan kegiatan berat, seperti salah seorang temanku yang setelah sunnat, eh... malah pergi main sepak bola... Dia kira dia superman apa!

Kami pun memutuskan pulang setelah sebelumnya saya menulis namaku di daftar pasien untuk esoknya, dan berhasil menempati posisi 5!!! Hari ini tepatnya, saya dan adek Debi datang ke tempat praktek dokter Sumantri, jam 2 tenggggg!!!!! Tapi dokter ternyata belum datang juga. Kami pun memutuskan untuk pergi makan siang dan kembali. Saat kami kembali, jumlah pasien pun bertambah dan memenuhi ruang tunggu, bahkan saya dan Debi nyaris tidak kebagian bangku... Fiuhhhh... Untung masih ada tiga bangku yang kosong.. Setelah duduk dan mengatur nafas karena shock melihat tumpukan pasien dan rasa optimis bahwa kami akan menjadi pasien paling terakhir dipanggil setelah kurang lebih 13 pasien yang sudah duduk cantik dan menunggu berjam-jam, mungkin udah jamuran pula.

Saya berusaha basa-basi dengan dua orang ibu yang ada di sebelahku. “Dokter sudah ada yah Bu?” tanyaku. “Iya tuh sudah dari tadi, tapi pasien main serobot aja, gak bisa ngantri!”, jawab salah seorang ibu dengan nada jengkel. Saya dan Debi saling berpandangan dan patah semangat. Setelah berbincang dengan Debi, saya kembali bertanya kepada ibu tersebut, “Sudah berapa pasien yang masuk?”. “Duh banyak deh, padahal saya ini sudah antri dari jam 1 siang lho! Eh saya malah sampai sekarang belum dipanggil-panggil” jawabnya sewot. “Terus buat apa daftar kalo pake sistem nyerobot?” tanyaku lagi yang tidak gentar melihat wajah ibu bertubuh bongsor yang sudah mulai geram karena capek antri, salah-salah mantri dokter dihantam juga deh. “Nah itu dia, kalo tau saya langsung nyerobot juga tadi!” sekali lagi dengan nada sewot.

Hahhhh... Mampuslah kita Deb, dalam hatiku... Tapi Debi malah menyuruh saya bertanya, ibu itu berada di urutan ke berapa, duhhh adekku yang manis ini... Pastilah dia berada di nomor awal, karena dia merasa dilambungi oleh pasien lain, tapi saya tetap menghargai usul Debi. “Ibu sudah daftar?” tanyaku, “Iya sudah” jawab si Ibu. “Urutan ke berapa?” saya bertanya lagi meskipun saya tau dia sudah mulai bete dengan pertanyaan-pertanyaanku yang gak ada habisnya. “Oh saya, eumm.. Urutan ke 19!” jawabnya.. Saya lalu meremas tangan si Debi dan kami berdua berusaha menahan tawa... Hahahahaha... Adududuh... Ibu... Ibu... Ternyata.. Saya saja urutan ke-5 gak sampai komplain kayak gitu.

Akhirnya pergantian pasien, Ibu tersebut beranjak dari tempat duduknya dan mau nyerobot masuk, tapi perawat langsung memanggil nama pasien berikutnya, dan yakinlah itu bukan nama si ibu. Saking gak sabarannya, akhirnya dia memutusukan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan pintu ruang praktek dokter, seolah-olah mengambil ancang-ancang, sehingga saat pintu terbuka dia rencana akan langsung menyerobot masuk meskipun perawat itu menghalanginya, layaknya banteng yang menyerang matador saat melihat kain berwarna merah dikibarkan di depan matanya. Dia mulai judes dan gelisah, sedikit mengomel pula.

Dan.... Setelah 10 menit, pergantian pasien lagi. Si Ibu berdiri dan berkata, “Ayolah pak, saya dululah yang masuk, saya sudah antri berjam-jam!”. Tapi sambil melihat ke papan daftar pasien, si perawat dengan cueknya menyebut nama pasien berikutnya dengan lantang, “Ibu Mira!!”. Hahhh.. Itu namaku, saya pun berdiri meskipun saya tidak yakin bisa masuk karena ibu yang bongsor itu berusaha masuk ke ruangan dokter. “Tidak bisa Bu, antri Bu, silahkan Bu Mira!” kata perawat sambil melihat ke arahku dengan tatapan tajam dan memaksa, dia seperti ingin mengatakan “cepatlah kau! Sebelum ibu ini masuk ke dalam ruangan”. Keributan kecil memang, namun sempat menarik perhatian dokter Sumantri yang berada di dalam ruangan, dia sedikit menoleh keluar, dan saya pun masuk.

Humm... Kelihatan cukup tua, tapi tidak juga karena didukung dengan style-nya. Dengan rokok di tangan kirinya yang terus dihisapnya sambil menghayati lagu-lagu barat tahun 70-an yang diputar di tape-nya, dia lalu menanyakan keluhanku. Orangnya baik, ramah, singkat, padat, dan jelas. I like it! Satu lagi yang saya suka, dia memberikan diskon! Hehehe... “Makasih dok, mudah-mudahan obatnya bermanfaat buat saya” kata ku dengan riang. “Iya sama-sama, jangan lupa 2 minggu atau sebulan lagi datang buat check up”, jawabnya. Cuma 15 menit kami di dalam, dan akhirnya keluar. Perawat memanggil pasien berikutnya, dan sempat mempersilahkan si Ibu tadi untuk masuk duluan, tapi si Ibu malah ogah dan membiarkan pasien lain. Anehhh padahal tadi dia begitu menggebu-gebu, kenapa yah? Malu kali...

Saya pun mencoba merangkai silaturahmi (hallllahhh) dengan pamit sejenak, namun si Ibu tidak ingin menatapku sama sekali, ngambek deh kayaknya. Yap... Jangan marah dong Bu, kan Ve ngantri (“,). Hahhhh... Ternyata budaya antri itu indah yahhh...

9 Juli 2008
00:46 wita

1 comment:

ArIf said...

Yup, antri itu indah. Sayang di sini sulit orang antri... Lampu sudah merah pun diseruduk pula. uff...

Permisi, salam kenal kk Ve. :)