Wahhh... Kemarin saya dan Itol, kontributorku yang kurusnya minta ampun, apalagi pas bulan puasa... memutuskan untuk meliput ke pasar cakar, berhubung kemarin kan sudah seminggu jelang lebaran. Konon kabarnya di koran lokal yang saya baca, jumlah pembeli di pasar cakar meningkat hingga 50% pada seminggu jelang lebaran, apalagi memasuki 3 hari jelang lebaran, wuihhh membludak deh kayaknya... Cuaca kemarin tuh panas banget, taulah Makassar, terik.. Tapi sedikitpun gak menciutkan semangat kami buat meliput, padahal baru keluar di teras kantor, gila! Silau dan panas.. Hehehe..
Pasar cakar... Sepintas mendengar namanya, pasti ada beberapa dari kalian gak ngerti dengan maksudnya, bahkan ada yang langsung teringat pada ‘cakar’ ayam, dan jenis-jenis cakar lainnya.. Hehehehe... Memang nama pasar cakar lebih familiar bagi sejumlah warga yang bermukim di pulau Sulawesi, khususnya di ibu kota propinsi, karena di daerah inilah nama “pasar cakar” dipopulerkan.. Gak bisa ditebak lagi deh pangsa pasar di pasar cakar ini, mulai dari yang kondisi ekonominya menengah ke bawah, sampai yang menengah ke atas juga sering berseliweran di pasar tersebut..
Cakar adalah akronim dari ‘Cap Karung’, yahhh begitulah, masyarakat semakin kreatif aja.. Di pasar ini menjual sejumlah pakaian bekas import yang masuk dalam jumlah banyak dan dalam bentuk karungan.. Pakaian bekas ini datangnya dari luar negeri, antara lain Korea, Jepang, dan Taiwan, lalu singgah di berberapa pelabuhan, salah satunya Pelabuhan Wanci di Sulawesi Tenggara. Nah.. dari pelabuhan tersebut kemudian didistribusikan ke beberapa daerah, Makassar misalnya, oh ya... ada juga sampe ke Maluku..
Selain pakaian bekas yang tergantung rapi di pasar tersebut, sejumlah aksesoris lain pun ikut bersaing di pasar ini.. Mulai dari tas, sepatu, jam tangan, dan parfum bermerk terkenal bisa juga ditemukan di pasar ini, yang biasanya disebut “second market”, sepintas akan terlihat sama dengan yang asli. Untuk pakaian, harganya pun sangat murah, mulai dari harga Rp. 20.000 – Rp. 100.000. Sementara harga aksesoris berkisar antara Rp. 75.000 hingga Rp. 500.000, itupun masih bisa ditawar. Nah.. Parfum mereka jualnya per milliliter, dari harga Rp. 10.000 sampe Rp. 200.000, bayangin aja kalo harus beli parfum di pasaran yang harganya bisa sampe juta-jutaan.
Makanya kadang masyarakat lebih tertarik belanja di pasar cakar, harga miring, kualitas pun gak kalah dari pasaran… Nahh.. Pasar cakar adalah salah satu alternatif pasar untuk berbelanja murah dan tetap gaya, bahkan sebagian sisa duit lebih, bisa ditabung untuk kebutuhan lain. Oh ya… Meskipun harganya relatif murah, namun pasar ini jangan dianggap remeh lhouuwww, milyaran rupiah mengalir sebagai omzet per-hari diantara para pedagang, berkarung-karung barang ber-merek dari luar negeri berlimpah membanjiri pasar cakar tersebut.
Apabila berjalan-jalan di Kota ‘Daeng’ tercinta ini, kita akan terbiasa menemui kompleks pedagang cakar di beberapa ruas jalan, yaitu Ratulangi, Todopuli, Alauddin, dan masih banyak lagi lokasi-lokasi lainnya. Mulai yang menempati gedung pertokoan, bilik-bilik kayu, hingga yang hanya beratapkan langit beralaskan terpal. Kondisi pasarnya cukup rapi, meski berbeda jauh dengan pusat perbelanjaan seperti mall, namun lumayanlah kalau memang bertujuan belanja dan langsung pulang.. Udara di dalam agak pengap, mungkin karena dikerumuni sejumlah pakaian.
Tapi… Ngomong-ngomong… Bicara soal cakar, kita bicara mengenai barang import bekas, dan bicara pula mengenai undang-undang pelarangan import pakaian bekas yang dikeluarkan pemerintah. Asal usul undang-undang ini muncul karena masuknya pakaian bekas import, meruntuhkan industri pertekstilan tanah air. Maklum, harga pakaian bekas import ini di pasaran jauh lebih murah. Bahkan sempat, ratusan bal pakaian bekas sitaan pun di bakar dan kepulan asap pun membumbung.
Pelarangan import pakaian bekas boleh jadi sudah berlangsung beberapa bulan. Tapi perdagangan cakar di makassar tetap bergairah. Terbukti dengan pembeli yang tetap ramai, bahkan kian bertambah. Pasar cakar ini tentunya sangat menolong golongan ekonomi lemah. Entah bagaimana pakaian ini bisa lolos sensor. Sayang juga sih apabila pasar ini harus ditutup, kemungkinan banyak yang menolak. Sudah cukup banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di pasar cakar ini, baik itu pedagang, maupun para pembeli.
Nah... Seandainya saja barang-barang cakar ini sudah nggak ada lagi, pasar-pasar cakar pada dibongkar, disusul harga-harga tekstil yang kian melambung... emmm bisa menebak? Mungkin kita kembali ke zaman dulu yah… Hehehe.. Menggunakan bahan kain perca untuk pakaian kita, hehehe… Naujubile dehhh… Hihihi..
Tips :
Apabila sudah kesengsem sama satu barang, usahakan menawar serendah mungkin, maksimal setengah harga, jadi minimalnya gratis lah kalo perlu.. Kalo pedagangnya gak mau ngasih, pura-pura jalan ninggalin, pada langkah ketiga insya Allah dipanggil lagi koq, kalo mereka gak manggil, ya balik sendirilah, kan punya kaki sendiri.. Hehehe…
Pasar cakar... Sepintas mendengar namanya, pasti ada beberapa dari kalian gak ngerti dengan maksudnya, bahkan ada yang langsung teringat pada ‘cakar’ ayam, dan jenis-jenis cakar lainnya.. Hehehehe... Memang nama pasar cakar lebih familiar bagi sejumlah warga yang bermukim di pulau Sulawesi, khususnya di ibu kota propinsi, karena di daerah inilah nama “pasar cakar” dipopulerkan.. Gak bisa ditebak lagi deh pangsa pasar di pasar cakar ini, mulai dari yang kondisi ekonominya menengah ke bawah, sampai yang menengah ke atas juga sering berseliweran di pasar tersebut..
Cakar adalah akronim dari ‘Cap Karung’, yahhh begitulah, masyarakat semakin kreatif aja.. Di pasar ini menjual sejumlah pakaian bekas import yang masuk dalam jumlah banyak dan dalam bentuk karungan.. Pakaian bekas ini datangnya dari luar negeri, antara lain Korea, Jepang, dan Taiwan, lalu singgah di berberapa pelabuhan, salah satunya Pelabuhan Wanci di Sulawesi Tenggara. Nah.. dari pelabuhan tersebut kemudian didistribusikan ke beberapa daerah, Makassar misalnya, oh ya... ada juga sampe ke Maluku..
Selain pakaian bekas yang tergantung rapi di pasar tersebut, sejumlah aksesoris lain pun ikut bersaing di pasar ini.. Mulai dari tas, sepatu, jam tangan, dan parfum bermerk terkenal bisa juga ditemukan di pasar ini, yang biasanya disebut “second market”, sepintas akan terlihat sama dengan yang asli. Untuk pakaian, harganya pun sangat murah, mulai dari harga Rp. 20.000 – Rp. 100.000. Sementara harga aksesoris berkisar antara Rp. 75.000 hingga Rp. 500.000, itupun masih bisa ditawar. Nah.. Parfum mereka jualnya per milliliter, dari harga Rp. 10.000 sampe Rp. 200.000, bayangin aja kalo harus beli parfum di pasaran yang harganya bisa sampe juta-jutaan.
Makanya kadang masyarakat lebih tertarik belanja di pasar cakar, harga miring, kualitas pun gak kalah dari pasaran… Nahh.. Pasar cakar adalah salah satu alternatif pasar untuk berbelanja murah dan tetap gaya, bahkan sebagian sisa duit lebih, bisa ditabung untuk kebutuhan lain. Oh ya… Meskipun harganya relatif murah, namun pasar ini jangan dianggap remeh lhouuwww, milyaran rupiah mengalir sebagai omzet per-hari diantara para pedagang, berkarung-karung barang ber-merek dari luar negeri berlimpah membanjiri pasar cakar tersebut.
Apabila berjalan-jalan di Kota ‘Daeng’ tercinta ini, kita akan terbiasa menemui kompleks pedagang cakar di beberapa ruas jalan, yaitu Ratulangi, Todopuli, Alauddin, dan masih banyak lagi lokasi-lokasi lainnya. Mulai yang menempati gedung pertokoan, bilik-bilik kayu, hingga yang hanya beratapkan langit beralaskan terpal. Kondisi pasarnya cukup rapi, meski berbeda jauh dengan pusat perbelanjaan seperti mall, namun lumayanlah kalau memang bertujuan belanja dan langsung pulang.. Udara di dalam agak pengap, mungkin karena dikerumuni sejumlah pakaian.
Tapi… Ngomong-ngomong… Bicara soal cakar, kita bicara mengenai barang import bekas, dan bicara pula mengenai undang-undang pelarangan import pakaian bekas yang dikeluarkan pemerintah. Asal usul undang-undang ini muncul karena masuknya pakaian bekas import, meruntuhkan industri pertekstilan tanah air. Maklum, harga pakaian bekas import ini di pasaran jauh lebih murah. Bahkan sempat, ratusan bal pakaian bekas sitaan pun di bakar dan kepulan asap pun membumbung.
Pelarangan import pakaian bekas boleh jadi sudah berlangsung beberapa bulan. Tapi perdagangan cakar di makassar tetap bergairah. Terbukti dengan pembeli yang tetap ramai, bahkan kian bertambah. Pasar cakar ini tentunya sangat menolong golongan ekonomi lemah. Entah bagaimana pakaian ini bisa lolos sensor. Sayang juga sih apabila pasar ini harus ditutup, kemungkinan banyak yang menolak. Sudah cukup banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di pasar cakar ini, baik itu pedagang, maupun para pembeli.
Nah... Seandainya saja barang-barang cakar ini sudah nggak ada lagi, pasar-pasar cakar pada dibongkar, disusul harga-harga tekstil yang kian melambung... emmm bisa menebak? Mungkin kita kembali ke zaman dulu yah… Hehehe.. Menggunakan bahan kain perca untuk pakaian kita, hehehe… Naujubile dehhh… Hihihi..
Tips :
Apabila sudah kesengsem sama satu barang, usahakan menawar serendah mungkin, maksimal setengah harga, jadi minimalnya gratis lah kalo perlu.. Kalo pedagangnya gak mau ngasih, pura-pura jalan ninggalin, pada langkah ketiga insya Allah dipanggil lagi koq, kalo mereka gak manggil, ya balik sendirilah, kan punya kaki sendiri.. Hehehe…
Kalau membeli pakaian, sampai rumah langsung dicuci dengan air panas, diulang dua kali plus diberi pelembut dan pewangi pakaian, disetrika hingga licin, terus... ehm… dipake donkk ke acara silaturahminya… Hihihi..
Berbelanja di pasar ini cukup ribet, kalo perlu gak usah menggunakan pakaian bak seorang model, cukup baju kaos yang agak longgar, celana jeans, dan sendal jepit, boleh juga pake topi dan kacamata, kali-kali aja nemu teman di sana, biar gak ketahuan kalo ngebet sama barang cakar.. Hehehe..
26 September 2008
05:53 wita
..setelah itu lanjut liputan arus mudik di terminal Malengkeri... Hufff semangat!!
No comments:
Post a Comment