Hujan batu... Astaga…..!!! Saya berada di antara serangkaian hujaman batu tersebut, entah ditujukan kepada siapa sebenarnya.. Jangankan polisi, para pengguna jalan dan pemilik toko yang tidak berdosa, juga terkena lemparan.. Mahasiswa universitas 45 tersebut seolah-olah mengajak berperang. Sambil mencoba mencari tempat berlindung dari lemparan batu, terlintas di benakku, "apa yang mereka pikirkan saat melempar batu-batu tersebut?". Yang saya tau, mereka berorasi sampai tenggorokan mereka kering, membakar ban di tengah jalan, rela membakar kulitnya di bawah terik matahari, untuk sebuah perjuangan demi rakyat. Mereka menyampaikan aspirasi rakyat yang khawatir dengan rencana kenaikan harga BBM, menyuarakan betapa beratnya beban rakyat sekarang dan harus ditambah dengan beban lain seperti kenaikan harga BBM tersebut. Tapi...... Mengapa mereka menutup jalan sehingga arus lalu lintas macet dan membiarkan aktivitas masyarakat yang mencari sesuap nasi terhambat?? Bahkan.. Mengapa mereka melakukan serangan membabi buta yang resikonya dapat melukai masyarakat yang melintas, dan memecahkan kaca toko milik masyarakat?? Bukankah itu semua justru semakin memberatkan? Image para mahasiswa sebagai kaum "intelektual" pun mulai dipertanyakan. Di sisi lain, orang lain mengatakan bahwa mereka itu sedang berjuang, hmm.. itukah yang dinamakan perjuangan? Saya justru lebih mengakui perjuangan para wartawan untuk mendapatkan gambar keren dari bentrokan tersebut. Gila.. Aksi unjuk rasa mahasiswa ini sudah terjadi selama kurang lebih tiga hari terakhir ini, kira-kira apa yah aksi puncaknya?
Setelah keluar dari tempatku berlindung, sebuah distro kecil… Saya bertemu ka Humaerah yang menyapaku dengan ramah. Ahhh… Saya merasa bertemu sahabat.. Begitulah yang saya rasakan saat bertemu wartawan perempuan di lapangan, yang menyambutku dengan senyuman dan sapaan. Yahhh.. tau sendirilah tipe cewek seperti saya, sulit beradaptasi dengan kondisi yang baru, apalagi dengan makhluk yang namanya laki-laki. Kenapa yah?? Bukan maksudku tidak mau menanggapi balik candaan kalian.. Lebih tepatnya saya kesulitan, dan memilih senyum sebagai isyarat bahwa “tenanglah, meskipun saya tidak membalas dengan kata-kata, tapi senyumku ini bermaksud ingin bersahabat dengan kalian (kadang-kadang)” Hehehe.. Saat mendapatkan posisi yang cukup aman bersama ka Humaerah, saya sempat berbalik ke belakang.. Saya mendapati seorang polisi yang wajahnya terluka akibat terkena lemparan batu… Kira-kira apa kata anak dan istrinya saat melihatnya? Apakah mereka akan memaki-maki siapapun yang melukai ayah atau suami mereka, ataukah… mereka justru memaklumi itu semua, secara yah.. pekerjaan itu resikonya tinggi.. Hm… Kasihan dia.... Hanya itu gumamku dengan perasaan iba.. Yang jelas akan lain kasusnya kalau itu adalah… Ah.. mudah-mudahan tidak pernah… Amin…
Jalanan di depan universitas 45 itu penuh dengan batu. Aparat sempat masuk ke dalam kampus, mencoba meloby dengan mahasiswa, “kalian boleh unjuk rasa, tapi jangan sampai mengganggu aktivitas para pengguna jalan” begitulah sekenanya. Keadaan cukup genting saat itu. “Aja dimana yah?” Sambil clingak-clinguk mencari kontributorku yang satu itu. Hmm.. boleh dikatakan saya paling sering liputan sama dia, mungkin karena urat ketawaku yang sudah putus atau memang dia yang humoris, sehingga liputan apapun itu kadang diwarnai ledekan dan tawaku bersamanya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja seperti ka Tody yang sangat mudah tertangkap mataku, sekali lagi karena postur tubuhnya yang tinggi. Saya teringat kata ka Budi, bahwa seorang reporter tidak boleh jauh dari campersnya jadi bisa saling melindungi. Teori sih gampang, tapi saat semua itu terjadi… Campersku yang haus akan gambar, tentu tidak akan melewatkan moment itu, sementara saya yang awalnya mengganggap remeh lemparan batu itu, akhirnya harus berlari melindungi diriku setelah sebuah batu nyaris mengena tubuhku, lebih tepatnya lewat di sampingku.. Serius ternyata.. Hahaha… Salah satu anggota polisi bahkan stress melihatku yang masih sempat berdiri di tengah jalan saat ogah-ogahan berlindung. Tapi untunglah saya baik-baik saja, karena kalau tidak, bagaimana saya menjelaskan semuanya di depan pak Benny dan bu Hasnah, mereka pasti ngomel-ngomel, dan buntut-buntutnya, “udahhhh berhenti aja, cari kerja yang aman”. Well… Saya akui terlalu tua untuk diriku dikhawatirkan seperti itu (malu-maluka), apalagi saya kan kerja sebagai jurnalis. “Tenang aja ma.. pa… Saya percaya, semua sudah diatur oleh Sang Pemilik Kehidupan ini, apapun itu, pasti itulah yang saya butuhkan”.
Meskipun kondisi itu masih “biasa” alias “cetek” untuk kalian para wartawan, tapi bagiku itu luar biasa.. Mungkin masih banyak hal yang luar biasa yang akan saya saksikan.. Makasih buat penugasannya ka Bud, makasih buat kalian mahasiswa yang mengaku sebagai leading of change, makasih buat kalian aparat kepolisian yang tidak pernah letih meladeni anak, sahabat, rekan, saudara kalian dengan segala kekisruhan yang mereka buat, makasih tvOne…. Kalaupun saya nantinya letih lebih awal, tidak ada masalah….. Sedikit kenangan itu bisa memberi makna besar buat hidupku, selebihnya kuserahkan dalam setiap sujudku kepadaNya….
15 Mei 2008
19:30 wita
Setelah keluar dari tempatku berlindung, sebuah distro kecil… Saya bertemu ka Humaerah yang menyapaku dengan ramah. Ahhh… Saya merasa bertemu sahabat.. Begitulah yang saya rasakan saat bertemu wartawan perempuan di lapangan, yang menyambutku dengan senyuman dan sapaan. Yahhh.. tau sendirilah tipe cewek seperti saya, sulit beradaptasi dengan kondisi yang baru, apalagi dengan makhluk yang namanya laki-laki. Kenapa yah?? Bukan maksudku tidak mau menanggapi balik candaan kalian.. Lebih tepatnya saya kesulitan, dan memilih senyum sebagai isyarat bahwa “tenanglah, meskipun saya tidak membalas dengan kata-kata, tapi senyumku ini bermaksud ingin bersahabat dengan kalian (kadang-kadang)” Hehehe.. Saat mendapatkan posisi yang cukup aman bersama ka Humaerah, saya sempat berbalik ke belakang.. Saya mendapati seorang polisi yang wajahnya terluka akibat terkena lemparan batu… Kira-kira apa kata anak dan istrinya saat melihatnya? Apakah mereka akan memaki-maki siapapun yang melukai ayah atau suami mereka, ataukah… mereka justru memaklumi itu semua, secara yah.. pekerjaan itu resikonya tinggi.. Hm… Kasihan dia.... Hanya itu gumamku dengan perasaan iba.. Yang jelas akan lain kasusnya kalau itu adalah… Ah.. mudah-mudahan tidak pernah… Amin…
Jalanan di depan universitas 45 itu penuh dengan batu. Aparat sempat masuk ke dalam kampus, mencoba meloby dengan mahasiswa, “kalian boleh unjuk rasa, tapi jangan sampai mengganggu aktivitas para pengguna jalan” begitulah sekenanya. Keadaan cukup genting saat itu. “Aja dimana yah?” Sambil clingak-clinguk mencari kontributorku yang satu itu. Hmm.. boleh dikatakan saya paling sering liputan sama dia, mungkin karena urat ketawaku yang sudah putus atau memang dia yang humoris, sehingga liputan apapun itu kadang diwarnai ledekan dan tawaku bersamanya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja seperti ka Tody yang sangat mudah tertangkap mataku, sekali lagi karena postur tubuhnya yang tinggi. Saya teringat kata ka Budi, bahwa seorang reporter tidak boleh jauh dari campersnya jadi bisa saling melindungi. Teori sih gampang, tapi saat semua itu terjadi… Campersku yang haus akan gambar, tentu tidak akan melewatkan moment itu, sementara saya yang awalnya mengganggap remeh lemparan batu itu, akhirnya harus berlari melindungi diriku setelah sebuah batu nyaris mengena tubuhku, lebih tepatnya lewat di sampingku.. Serius ternyata.. Hahaha… Salah satu anggota polisi bahkan stress melihatku yang masih sempat berdiri di tengah jalan saat ogah-ogahan berlindung. Tapi untunglah saya baik-baik saja, karena kalau tidak, bagaimana saya menjelaskan semuanya di depan pak Benny dan bu Hasnah, mereka pasti ngomel-ngomel, dan buntut-buntutnya, “udahhhh berhenti aja, cari kerja yang aman”. Well… Saya akui terlalu tua untuk diriku dikhawatirkan seperti itu (malu-maluka), apalagi saya kan kerja sebagai jurnalis. “Tenang aja ma.. pa… Saya percaya, semua sudah diatur oleh Sang Pemilik Kehidupan ini, apapun itu, pasti itulah yang saya butuhkan”.
Meskipun kondisi itu masih “biasa” alias “cetek” untuk kalian para wartawan, tapi bagiku itu luar biasa.. Mungkin masih banyak hal yang luar biasa yang akan saya saksikan.. Makasih buat penugasannya ka Bud, makasih buat kalian mahasiswa yang mengaku sebagai leading of change, makasih buat kalian aparat kepolisian yang tidak pernah letih meladeni anak, sahabat, rekan, saudara kalian dengan segala kekisruhan yang mereka buat, makasih tvOne…. Kalaupun saya nantinya letih lebih awal, tidak ada masalah….. Sedikit kenangan itu bisa memberi makna besar buat hidupku, selebihnya kuserahkan dalam setiap sujudku kepadaNya….
15 Mei 2008
19:30 wita
No comments:
Post a Comment