Waktu duduk di bangku Sekolah Dasar saya sukaaa banget menggambar.. .. Hehehe.. Percaya gak percaya, dulu pernah dapat juara tiga lomba menggambar di sekolah. Hadiahnya lumayan, meja belajar baru.. Ve paling suka menggambar pemandangan, gambar wajah-wajah komik Jepang, bahkan sampai sekarang suka gambar model atau design baju.. Biasanya suka berdebat sama tukang jahit malah, saling mempertahankan design baju yang cocok… Hihihi..
Nahhhh… Ngomong-ngomong soal menggambar, melukis, dan kegiatan sejenisnya, pasti kita teringat dengan krayon, cat warna, kuas, dan kanvas. Benda-benda tersebut sangat identik dengan kegiatan menggambar dan melukis, dulu… Sekarang… Zaman udah semakin maju, tapi bahan dasar yang digunakan untuk melukis malah semakin aneh.. Bermacam-macam inovasi pun mereka lakukan, namun menurutku semakin sederhana..
Setahun lalu saya pernah wawancara dengan salah seorang pelukis terkenal di kota Makassar khususnya, Zainal Beta. Dia menggunakan bahan dasar tanah liat untuk lukisannya.. Durasi melukisnya pun tidak lama.. Waktu demo di tv lokal kemarin, dia hanya menghabiskan waktu lima menit untuk melukis Sultan Hasanuddin, salah seorang panglima kesultanan Gowa yang berjuang melawan kompeni dulu, julukannya “ayam jantan dari Timur”.
Nahhhh… Ngomong-ngomong soal menggambar, melukis, dan kegiatan sejenisnya, pasti kita teringat dengan krayon, cat warna, kuas, dan kanvas. Benda-benda tersebut sangat identik dengan kegiatan menggambar dan melukis, dulu… Sekarang… Zaman udah semakin maju, tapi bahan dasar yang digunakan untuk melukis malah semakin aneh.. Bermacam-macam inovasi pun mereka lakukan, namun menurutku semakin sederhana..
Setahun lalu saya pernah wawancara dengan salah seorang pelukis terkenal di kota Makassar khususnya, Zainal Beta. Dia menggunakan bahan dasar tanah liat untuk lukisannya.. Durasi melukisnya pun tidak lama.. Waktu demo di tv lokal kemarin, dia hanya menghabiskan waktu lima menit untuk melukis Sultan Hasanuddin, salah seorang panglima kesultanan Gowa yang berjuang melawan kompeni dulu, julukannya “ayam jantan dari Timur”.
Okehhh... Kita kembali ke Zainal Beta.. Selain tanah liat, dia hanya menggunakan air sebagai bahan campurannya. Kuas pun lewat… Dia menggunakan sebilah bambu tipis berukuran 3 x 4 cm dengan ujung yang lancip.. Saat melukis, dia tidak ragu sama sekali menggoreskan bambu kecil tersebut di atas kanvasnya. Dia juga mahir menggambar rumah-rumah adat Bugis-Makassar, kapal Phinisi, serta masih banyak goresan dengan bentuk yang berbeda-beda.
Tanah liat yang dia gunakan pun berbeda-beda warnanya, dan diambil di beberapa lokasi berbeda. Sejumlah tanah liat yang telah diperolehnya berasal dari Makassar dengan warna ungu dan orange, Kabupaten Gowa dan Takalar dengan warna abu-abu, Jeneponto warna hitam, Barru dan Soppeng warna hijau, Tator warna coklat tua dan krem, serta Mandar dengan tanah liat berwarna merah. Dia berharap, tanah liat-tanah liat yang berasal se-antero Nusantara hingga yang berasal dari Papua, dapat disatukan dalam sebuah kanvas.
Tau tidak.. sekali mencari tanah liat, dia menghabiskan dana hingga 500 juta, dan membawa tanah liat dalam jumlah yang banyak, hingga enam karung boouuwww… Tidak jarang banyak yang terheran-heran dan mengatakan dia gila. Namun cacian masyarakat tak dihiraukannya bahkan ia makin aktif melakukan pencarian tanah liat ke sejumlah wilayah di Sulselbar.
Beralih ke pelukis unik lainnya, kali ini menurutku lebih aneh… Dia menggunakan bahan dasar “kotoran sapi” atau (maaf) “tahi sapi” Kalo orang lain bilang Zainal itu gila, yang satu ini jauh lebih gila… Hehehe… Bahkan masyarakat mengatakan dia “pongoro” (istilah Makassar yang artinya gila), ada juga yang bilang dia “wong sinting”, dan sebutan itu dia abadikan di depan rumah panggungnya di kawasan Tanjung Bayang Makassar.. Dia malah bangga dengan sebutan tersebut.. Namanya adalah Dina Mahardika, yang akrab dipanggil “abang”
Pelukis yang satu ini sebenarnya bukan asli Makassar, dia datang dari Jawa, dan sudah berdomisisli selama empat tahun di kota “Daeng” ini. Berdasarkan penuturannya, dia tidak jijik menggunakan “tahi sapi” tersebut.. Dia mengaanggap itu adalah inovasi yang berbeda dari dirinya, bahkan sebuah sensasi.. Sama dengan Zainal Beta, hasil lukisannya tak kalah bagus, bagus banget malah… Ada yang pure hanya menggunakan “tahi sapi”, tapi ada juga yang di mix dengan warna-warni kasumba, agar lebih menarik warnanya..
Rata-rata lukisannya bergambar abstrak, namun ada juga yang bergambar pemandangan, mesjid, keranjang buah, dan lain-lain.. Saat saya mendatangi rumahnya beberapa waktu lalu, dia sempat men-demo-kan cara melukisnya.. Hehehe.. Saya sebenarnya agak risih dengan tahi sapi yang dia ambil hangat-hangat dari kandang sapi, encer pula.. (uppsss… maaf…) Pertama, dia mengambil sebuah karton besar seukuran tv 20 inch, lalu dia mengguntingnya berbentuk love..
Bahan-bahan yang dia gunakan adalah lem fox, kasumba warna hijau, kuning, pink, lotion nyamuk Autan, dan ehm.. “tahi sapi”.. Abang langsung menggunakan tangannya untuk meletakkan ‘adonan’ itu ke atas karton. Weuuwww… Jadinya sebuah lukisan abstrak, tapi cantiikkk banget, degradasi warna yang indah.. Setelah itu, lukisan tersebut dijemur di bawah matahari hingga kering… Lukisannya sih oke, tapi hehehe.. ada aroma “tahi sapi” nya…Tenangg aja.. Gak ‘menusuk’ koq aromanya.. Hitung-hitung melatih indera penciuman… Huahahaha…
Saya yang berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dengan “tahi sapi”nya, eh.. malah kena juga saat jabat tangan dengan Abang… Duhhhh untungnya sudah kering tangannya. Yahhh lumayanlah, oleh-oleh dari Tanjung Bayang.. Hehehe.. Hmmm… Dua pelukis tersebut menurutku adalah asset negara yang terlupakan, terlewatkan, atau bahkan sengaja ditinggalkan…
Pemerintah sudah terlalu sibuk dengan masalah yang mereka buat sendiri, dengan sejumlah kasus korupsi yang mereka ‘ciptakan’, sejumlah bencana alam yang terjadi, sejumlah demonstrasi dan unjuk rasa yang menjadi semacam rutinitas di beberapa daerah yang membuat negara ini semakin pelik... Ide-ide unik dari para pelukis tersebut tidak dianggap sebagai sebuah inovasi, melainkan ide gila yang tidak dilayak..
Sepertinya Zainal Beta, Dina Mahardika, serta sejumlah pelukis dan seniman lokal lainnya harus berusaha lebih keras lagi, dan semoga semangat mereka tidak pernah redup di tengah hiruk pikuk “dosa” masa lalu dan masa kini di negara kita..
30 Oktober 2008
13:51 wita